Jakarta, Beritasatu.com – Pengunaan energi baru terbarukan (EBT) diyakini akan menciptakan sebanyak 23 lapangan pekerjaan di Indonesia. Anggota Komisi VII DPR Dyah Roro Esti mengatakan penggunaan EBT, khususnya diimbangi dengan sistem low carbon development, maka akan mengurangi emisi karbon. Dengan begitu, target net zero emmition (NZE) pada 2060 akan tercapai sebagaimana hasil pertemuan KTT Perubahan Iklim COP-26 yang dihelat di Glasgow, Skotlandia, beberapa waktu lalu.
“Ketika kita menerapkan sistem low carbon development ini, sebetulnya kita mempunyai potensi mengurangi emisi sebesar 43 persen pada 2030. Kita juga bisa menghasilkan 23 juta pekerjaan lebih hijau dan lebih baik,” kata Roro dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Indonesia Menuju Net Zero Emission 2060” yang digelar Pandawa Nusantara di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu (8/12/2021).
Roro mengatakan penggunaan EBT juga bisa menyelamatkan sebanyak 40.000 jiwa per tahun, karena bisa mengurangi polusi udara dan air. “Polusi pengaruhi kualitas SDM di Indonesia, bisa menghambat produktivitas negara dan akan sulit capai Indonesia Emas 2045,” kata Roro.
Roro mengatakan komitmen besar tersebut harus direalisasikan sedikit demi sedikit ataupun melalui transisi, tidak bisa sekaligus. Roro juga optimistis perubahan tersebut akan membawa multiplier effect yang positif.
“Perubahan dibutuhkan political will, kemauan dari policy maker. Kami sudah merancang paling optimal harus seperti apa dan sepakat mendorong energi transisi di Indonesia,” ujar Roro.
Oleh karena itu, Roro menegaskan Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) di DPR harus didorong dan direalisasikan.
“Maka mendorong RUU EBTKE untuk mengurangi emisi karbon, ini akan didorong dan PR (pekerjaan rumah) bersama untuk mengawal. Harus bersatu lintas fraksi, tak lagi lihat warna, tetapi bagaimana bisa gotong royong untuk realisasi kebijakan untuk Bangsa Indonesia,” ucap Roro.
Pengurus DPP Pandawa Nusantara, Mamit Setiawan yang juga hadir dalam FGD tersebut mengaku sepakat dengan Roro terkait penggunaan EBT tersebut. Namun, Mamit mengingatkan harga EBT masih sangat tinggi dibanding energi fosil.
“Kita setuju transisi energi ini harus dan sebuah keniscayaan, tetapi jangan sampai transisi energi memberatkan negara dan pastinya memberatkan masyarakat. Pilihannya ada dua, harga dinaikan atau pemerintah beri subsidi karena energi ini harganya masih tinggi,” kata Mamit.
Kendati demikian, Mamit pun mendukung penggunaan EBT. Salah satu yang harus didorong saat ini, menurut Mamit, adalah realisasi pembahasan RUU EBTKE di DPR.
“Karena dengan adanya UU EBTKE ini, maka kepastian hukum ada, investasi tumbuh. Tidak mungkin PLN, Pertamina jalan sendiri tanpa investasi karena biaya yang dibutuhkan sangat besar. Dengan adanya UU EBTKE, maka investasi, nilai beli, bisa terangkum di sana,” katanya.
Sekadar informasi, selain Dyah Roro Esti dan Mamit Setiawan, hadir juga dalam FGD ini Direktur Utama Pertamina Power Indonesia (PPI) Dannif Danusaputro, Executive Vice President PLN Edwin Nugraha Putra dan Direktur Konservasi Energi Ditjen EBT Kementerian ESDM Luh Nyoman Puspa Dewi.
sumber: beritasatu.com