Anggota DPR RI Dyah Roro Esti mengatakan bahwasanya Indonesia merupakan negara penghasil limbah plastik terbesar no 2 di dunia setelah China. Setiap individu masyarakat Indonesia menyumbang sekitar 0,8 sampai 1 kg sampah plastik per tahunnya. Untuk itu Ia mengajak agar sedini mungkin mengurangi penggunaan kemasan yang berbahan baku plastik.
“Maka saya ingin mengajak kita semua untuk merubah gaya hidup kita masing-masing untuk menciptakan masa depan yang berkelanjutan, dan untuk merealisasikan Indonesia emas tahun 2045. Kalau tidak sekarang, kapan? Kalau bukan kita, siapa lagi?” tegasnya pada Rapat Paripurna DPR RI di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Selasa (29/10/2019).
Permasalahan limbah plastik, lanjut Dyah Roro, merupakan sebuah isu lingkungan yang sangat besar. Dibutuhkan lebih dari 100 tahun untuk mengurai sampah plastik. “Jika kita tidak melakukan apa-apa (mengurangi penggunaan plastik), bukan tidak mungkin di tahun 2050 akan lebih banyak sampah plastik dibandingkan ikan di lautan kita,” ungkapnya.
Politisi fraksi Partai Golkar ini mengusulkan kepada Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR RI agar mengeluarkan aturan yang melarang penggunaan botol-botol maupun kemasan berbahan baku plastik di setiap rapat yang diselenggarakan di lingkungan DPR RI.
“Saya melihat sudah ada kemajuan. Karena di Rapat Paripurna DPR RI sebelumnya masih menggunakan botol plastik, tapi sekarang sudah tidak lagi. Maka saya harap nanti ke depannya di ruangan lain juga mengimplementasikan hal yang sama,” imbau Dyah Roro.
Hal senada juga diungkapkan Politisi Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Ratna Juwita Sari, dimana sudah tidak ada lagi penggunaan botol plastik di ruangan Rapat Paripurna DPR RI. Menurutnya perlu ada keseragaman pemahaman agar bisa bersama-sama mengurangi penggunaan sampah plastik.
“Luar biasa. Ini adalah step forward yang menunjukkan kalau kita berbenah. Kita mulai berbenah, kita mulai menghargai tentang keberadaan lingkungan dan itu akan bisa kita kembangkan bersama-sama dengan penerapan green energy. Untuk itu, kita harus berada dalam konteks yang sama,” pungkasnya. (es)